Sejarah Masuk dan
Berkembangnya Islam di Indonesia - Jazirah Arab terletak di bagian barat
daya benua Asia, dewasa ini lebih dikenal dengan kawasan Timur Tengah. Batas
luas Jazirah Arab tiga perempatnya dikelilingi oleh laut, yakni Laut Merah di
bagian barat, Laut Hindia di bagian selatan, dan Laut Persia (teluk Persia) di
bagian timur. Di bagian utara berbatasan dengan wilayah Persia dan Syam (Syria)
yang merupakan padang pasir dan pegunungan tandus. Sebagian wilayah jazirah
Arab adalah padang pasir, hanya di bagian selatan yakni di daerah Yaman
terdapat cukup curah hujan sehingga terdapat daerah yang cukup subur. Secara
garis besar geografis bangsa Arab dibagi dalam beberapa wilayah yakni Hijaz,
Yaman, Hadrahmaut, Mahrah, Oman, Bahrain, dan Najed.
Sebagian besar wilayah Arab berupa padang pasir, akan tetapi
di beberapa tempat terdapat banyak padang perdu yang mengelilingi oase-oase.
Mata pencaharian bangsa Arab sebagian besar adalah berternak, dijumpai pula beberapa
menjadi petani di sekitar oase. Pada kota besar seperti Mekkah dan Yasrib, mata
pencaharian masyarakat adalah berdagang atau berniaga. Kota adalah tempat
terjadinya transaksi perdagangan antara berbagai kabilah (kelompok masyarakat)
untuk berbagai keperluan.
Kondisi Sosial
Kemasyarakatan PraIslam
Kondisi sosial kemasyarakatan di Jazirah Arab sebelum
risalah Islam hadir dalam keadaan yang tidak baik, masa tersebut dikenal
sebagai zaman jahiliyah. Hal ini ditandai dengan adanya norma-norma masyarakat
yang melanggar harkat kemanusiaan. Antara lain tampak pada kelahiran bayi
perempuan yang cenderung ditolak, adanya perbudakan, sifat kesukuan yang
berlebihan, dan kondisi lainnya yang menggambarkan kebobrokan masyarakat.
Kondisi alam Jazirah Arab yang sebagian besar berupa padang
pasir yang tandus membuat bangsa Arab hidup dalam kabilah-kabilah (kumpulan
suku-suku) yang terpencar-pencar. Walaupun demikian terdapat kota-kota yang
sebagai pusat perdagangan dan komunikasi antarkabilah untuk berbagai keperluan.
Kota yang terkenal selain Mekkah adalah Yatsrib, Thaif, Khaibar, dan Tabuk.
Perlu diperhatikan secara lebih mendalam tentang bentuk
kepercayaan bangsa Arab pra Islam karena ini punya keterkaitan langsung dengan
topik yang dibahas dalam materi. Sebagaimana telah diketahui bahwa bangsa Arab
secara umum memiliki kepercayaan yang bersifat polytheisme (menyembah banyak
dewa), walaupun setiap kabilah memiliki satu dewa yang dianggap paling tinggi.
Secara umum bentuk spiritualnya diwujudkan dalam penyembahan berhala yang
dianggap sebagai Tuhan, berhala yang diberi nama Latta, Uzza, dan Mana
diletakkan di sekitar Ka’bah. Ka’bah di Mekkah dijadikan pusat kegiatan
spiritual bangsa Arab sejak zaman sebelum Masehi. Ka’bah adalah bangunan batu
yang didirikan Ibrahim A.S. untuk tempat ibadah kepada Tuhan yang Esa. Pada
masa itu memang masih ada yang mengikuti ajaran Nabi Ibrahim yang
kepercayaannya disebut Hanif tetapi jumlahnya sangat kecil, demikian juga
pengikut Yahudi, Nasrani (Kristen), dan Zoroaster.
Kehidupan bangsa Arab yang berkelompok sesuai dengan kabilah
masing-masing telah melahirkan pusat-pusat kekuasaan yang tersebar walaupun
kekuatan-nya relatif kecil. Ada beberapa pusat kekuasaan yang menonjol pada
masa sebelum kedatangan Islam, antara lain Kerajaan Saba, Kerajaan Himyariah,
Kerajaan Hirah, Kerajaan Ghasaniyah, dan Hijaz (Matdawam, 1984). Untuk wilayah
Hijaz tidak disebut kerajaan karena memang tidak ada raja yang berkuasa, daerah
Hijaz yang wilayahnya Mekkah dan sekitarnya secara turun-temurun dipimpin oleh
keturunan Nabi Ismail. Bentuk kepemimpinannya berbentuk Majelis. Menjelang
kehadiran Islam, pimpinan Hijaz dipimpin oleh Qusyasyi Bin Kilab, nenek moyang
Muhammad pembawa risalah Islam.
Kelahiran Islam
dan Perkembangannya
Pembawa risalah Islam lahir pada tanggal 12 Rabiul Awal
Tahun Gajah atau 20 April tahun 571 M (Syalabi, 1990:78) dengan nama Muhammad,
Ibunya bernama Aminah dan bapaknya bernama Abdullah. Istilah Tahun Gajah
dipergunakan untuk menunjukkan waktu kelahiran yang bertepatan dengan
diserangnya Mekkah oleh pasukan Gajah dari Abbisinea Yaman. Abdullah meninggal
di Madinah karena sakit dalam perjalanan berniaga, ketika Muhammad masih dalam
kandungan ibunya. Aminah meninggal ketika Muhammad berumur 6 tahun, sehingga
kemudian Muhammad diasuh oleh Abdul Muthalib, kakeknya. Dua tahun kemudian
Abdul Muthalib meninggal, Muhammad diasuh oleh Abu Thalib, pamannya. Masa
kecilnya dilewati sebagai anak yatim piatu yang hidup bersama keluarga
pamannya. Di samping berternak, Muhammad juga sering diajak Abu Thalib ikut
berniaga ke Syam (Syria). Pengalaman berniaga ini kemudian menjadi salah satu
pekerjaan Muhammad ketika menginjak dewasa. Pada usia 25 tahun Muhammad sudah
berdiri sendiri membawa barang dagangan untuk berniaga. Barang yang diniagakan
adalah milik Khadijah, seorang saudagar wanita yang cukup terpandang di Mekkah.
Muhammad dan Khadijah kemudia menikah, Khadijah ketika menikah adalah seorang
janda berumur 40 tahun. Dalam kehidupan sehari-hari Muhammad dikenal sebagai Al
Amin (dapat dipercaya) karena ketinggian akhlaknya.
Pada usia 40 tahun Muhammad mendapat wahyu pertama di Gua
Hira, dan semenjak itulah risalah Islam mulai hadir dan mulai ditegakkan di
Kota Mekkah. Seruan utama ajaran Islam yang diserukan oleh Muhammad adalah
Tauhid yakni mengesakan Tuhan, sebuah fenomena kontradiktif terhadap kondisi
masyarakat kota Mekkah yang banyak menyembah berhala. Pelan tapi pasti jumlah
pengikut Muhammad semakin bertambah besar, berbagai macam cara dilakukan oleh
masyarakat Mekkah (suku Quraisy) yang memusuhi Muhammad untuk menghenti-kan
penyebaran Islam telah dilakukan akan tetapi tidak berhasil, puncaknya adalah
usaha kekerasan fisik yakni membunuh Muhammad. Dalam menghadapi kondisi ini
Muhammad berdasar petunjuk Tuhan kemudian meninggalkan Mekkah menuju kota
Yatsrib, peristiwa ini kemudian dikenal sebagai peristiwa Hijrah yang
dipergunakan sebagai awal perhitungan tahun Islam. Muhammad berdakwah di Mekkah
selama 10 tahun (610-621 M), tetapi belum berhasil mengubah kepercayaan
masyarakat Mekkah. Kendali dakwah beralih kota Yatsrib, yang kemudian lebih
dikenal dengan nama Madinatul Munawaroh atau Madinah.
Islam berkembang di Madinah dengan pesat. Sebuah sistem
kemasyarakatan dibangun atas dasar tuntunan Islam. Masyarakat non Islam diberi
kebebasan untuk tetap menjalankan aktivitasnya dengan prinsip saling
menghormati, serta bersama-sama menjaga kedamaian dan ketentraman kota Madinah.
Muhammad membangun kota Madinah dengan prinsip-prinsip yang dikenal sebagai
Konstitusi Madinah. Sistem pemerintahan yang dikembangkan ini dikenal dengan
sebutan kekhalifahan.
Orang-orang Mekkah merasa adanya ancaman yang cukup serius
dengan berkembangnya Islam di Madinah, karena Madinah merupakan jalur
perdagangan dari Mekkah ke Syam. Untuk itu dipakai berbagai cara untuk
menghancurkan Islam di Madinah. Usaha ini tidak berhasil bahkan berbalik,
karena kabilah lain di Jazirah Arab banyak yang bergabung dengan Islam sehingga
Mekkah mulai kekurangan teman untuk ikut memusuhi Islam. Berbagai peperangan
telah terjadi antara kekuatan Islam dan Quraisy yang merupakan representasi
Mekkah. Perang Badar, Uhud, Khandaq, dan Khaibar, yang diakhiri dengan Fattu
Mekkah (kejatuhan Mekkah). Dengan jatuhnya Mekkah ke pangkuan Islam, mulailah
babak baru perkembangan Islam. Islam telah berhasil meletakkan dasar bagi
penyebaran Islam ke seluruh jazirah Arab dan membongkar kepercayaan bangsa Arab
ke arah keesaan Tuhan. Mekkah sebagai pusat ritual bangsa Arab telah kembali
kepada Tauhid, dengan demikian “seluruh” bangsa Arab dapat dipengaruhi untuk
menerima Islam sebagai agama. Pusat pemerintahan tetap di Madinah dan dipegang
oleh Nabi sampai wafatnya tanggal 13 Rabiulawal tahun 11 H atau 8 Juni 632 M.
Sepeninggal Muhammad kendali perkembangan Islam dipegang
oleh Khafilah Abu Bakar, seorang sahabat yang termasuk orang-orang yang paling
awal memeluk Islam. Abu Bakar memimpin dari tahun 632 M sampai 634 M. Pada masa
kepemimpinannya Abu Bakar menghadapi permasalahan yang dipelopori oleh para
pembangkang, yakni mereka yang setelah Muhammad meninggal tidak bersedia
melakukan ajaran Islam. Para pembangkang antara lain Musailamah Al Kazzab,
Sajah Tamimiyah, dan Tulaihah bin Khuwailid. Salah satu jasa Abu Bakar adalah
berhasil mengumpulkan mushab Al Qur’an. Abu Bakar juga berhasil mengamankan
Madinah dari serangan Romawi dan Parsi, caranya dengan mengirimkan pasukan
mengamankan dari perbatasan di bagian utara wilayah jazirah Arab.
Sepeninggal Abu Bakar umat Islam dipimpin oleh Khalifah Umar
Bin Khatab. Umar Bin Khatab di kenal sebagai panglima perang, ahli hukum, ahli
tatanegara, dan seorang khalifah yang adil. Pada masa kepemimpinannya Syria
dapat dikuasai, demikian pula wilayah Palestina. Walaupun Madinah mengirim
pasukan ke wilayah lain, akan tetapi kebebasan beragama tetap dijunjung tinggi.
Pasukan umat Islam tidak boleh mengganggu wanita, anak-anak, tempat ibadah dan
tidak boleh merusak hasil pertanian dan kebun penduduk yang dikuasai. Pasukan
Islam kemudian bergerak ke Mesir, sebagai wilayah yang strategis Mesir harus
dikuasai agar tidak digunakan Romawi untuk melemahkan Islam. Umar pada tahun
644 M di bunuh oleh Abu Lukluk ketika hendak berangkat shalat subuh, dengan
demikian berakhirlah kepemimpinan Umar selama 12 tahun. Sebelum meninggal Umar
menunjuk 6 sahabat untuk dipilih salah satu menjadi penggantinya. Enam sahabat
yang ditunjuk yakni; Ali bin Abi Thalib, Ustman bin Affan, Zubair bin Auwan,
Saad bin abi Waqash, Thalhah bin Ubaidilah, dan Abdurrahman bin Auf (Syalabi,
1990).
Ustman bin Affan akhirnya terpilih menjadi khalifah
menggantikan Umar, ia meneruskan kebijakan Umar dalam memimpin umat Islam.
Utsman dikenal sebagai seorang saleh, jujur, dan lemah lembut. Pada masa
kepemimpinan Utsman Islam berkembang luas ke luar jazirah Arab, seluruh wilayah
Parsi dan sebagaian Asia Tenggara berhasil dikuasai. Dari wilayah Mesir Islam
juga berkembang di wilayah Afrika Utara. Luasnya wilayah Islam menyebabkan
Ustman menempatkan orang-orang yang menurutnya dapat dipercaya sebagai tangan
kanannya. Di satu sisi karena ketika di angkat menjadi pengganti Umar, Ustman
sudah berusia lanjut sehingga memerlukan
orang-orang dekat yang dapat dipercaya, terutama dari bani
Umayah. Hal ini menimbulkan kecemburuan banyak pihak, salah satunya adalah
Abdullah bin Saba’ yang kemudian memberontak. Pemberontakan penduduk dari Mesir
yang langsung bergerak ke Madinah, tidak dapat ditanggulangi oleh Madinah
sehingga rumah Ustman berhasil di kepung dan akhirnya berhasil membunuh Ustman
pada tahun 656 M.
Sepeninggal Ustman umat Islam memilih Ali bin Abi Thalib
menjadi khalifah untuk memimpin umat Islam, namun keadaan umat Islam yang kacau
karena pemberontakan terhadap Ustman telah menyulitkan Ali untuk memimpin umat
Islam. Keluarga Ustman yakni terutama dari bani Umayah menuntut Ali agar segera
menyelesaikan pemberontakan yang terjadi pada Usman. Tuntutan kepada Ali agar
para pemberontakan diambil tindakan hukum juga disuarakan oleh Aisyah (Janda
Nabi) dan Thalhah salah seorang sahabat Nabi. Keadaan semakin tidak menentu
ketika Mesir dan Syiria dengan terang-terangan juga menolak kehadiran Ali
sebagai pemimpin umat Islam.
Ali pertama kali harus terlibat perang Jamal, yakni
peperangan antara Ali dangan Aisyah berserta pendukungnya. Perang ini
dimenangkan oleh Ali, sehingga kemudian pasukannya dialihkan untuk menghadapi
pembangkangan Muawiyah di Syria. Terjadilah pertempuran hebat antara dua
pasukan yang dulunya menjaga kedaulatan Medinah, namun sekarang harus
berhadapan satu sama lain. Peperangan terhenti dangan diadakannya perjanjian
yang hasilnya ternyata merugikan Ali. Akibat perjanjian tersebut Ali kehilangan
pengaruh cukup besar, karena sebagian pendukung yang tidak setuju isi
perjanjian tersebut kemudian menolak mendukung Ali. Dalam kondisi politik yang
tidak menentu Ali wafat karena terbunuh oleh Abdurahman bin Muljam pada tahun
661M (Tohir, 1981). Kendali umut Islam dipegang oleh Muawiyah, walaupun Hasan
bin Ali oleh pendukung Ali bin Abi Thalib di angkat sebagai Kalifah di Mekkah
akan tetapi karena kurang kekuatan akhirnya berdamai dengan Muawiyah. Muawiyah
setelah menjadi khalifah memindahkan kendali pemerintahan Islam ke Damaskus.
Masa Kekuasaan
Bani Umayah dan Bani Abasiyah
1. Bani Umayah
Muawiyah setelah menjadi khalifah mengembangkan sistem
pemerintah-an yang berada dengan empat khalifah pendahulunya
(khulafaurrasjidin). Muawiyah menerapkan sistem pemerintahan sebagaimana bentuk
kerajaan. Dengan bertindak keras terhadap lawan politiknya, Muawiyah berhasil
mempersatukan wilayah Islam dalam satu kekuasaan. Satu hal lain yang menonjol
adalah diterapkan sistem turun-menurun dalam pergantian Khalifah. Selama kurang
lebih 89 tahun kekuasaan Bani Umayyah ( 14 khalifah ), Bani Umayyah lebih
cenderung mengembangkan sistem kekuasaan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan
militer. Khalifah sebagai amirul mukminin (pemimpin orang mukmin) yang sangat
memperhatikan kehidupan keagamaan masyarakat tidak lagi menjadi prioritas
utama.
Keberhasilan melakukan konsolidasi politik memberkan peluang
Bani Umaiyah untuk terus melakukan perluasan pengaruh Islam. Islam bergerak
dengan cepat ke arah barat dan timur, ke arah barat sampai di Andalusia di
Spayol, ke arah timur sampai di India. Bahkan Persia dan Asia Tengah juga telah
dimasuki Islam. Intinya pada masa Bani Umaiyah Islam telah tersebar luas di
luar Jazirah Arab.
Hal lain yang berkembang pada masa Bani Umayah adalah
munculnya golongan-golongan di kalangan umut Islam, baik yang berdasar kelompok
ataupun faham keagamaan. Golongan seperti syiah, khawarij, sunni, murjiah, dan
yang lain berkembang sebagai golongan terus-menerus mewarnai pergolak-an
politik selama kekuasaan Bani Umayyah. Dasar-dasar perkembangan ilmu
pengetahuan sempat muncul pada masa khalifah tertentu Bani Umayyah, tercatat
pada masa Khalifah Khalid bin Walid dan Umar bin Abdul Azis, beberapa cabang
ilmu keagamaan (tafsir, nahwu, hadist) dan ilmu pasti (kedokteran, astronomi,
kimia) mulai mendapat perhatian. Juga munculnya kota-kota besar seperti
Damaskus, Kuffah, Basra, Mekkah, Kordoba, dan Granada.
Wilayah yang luas mengakibatkan sulitnya melakukan
pengawasan dan kontrol terhadap jalanya pemerintahan. Banyak penjabat di daerah
yang kemudian menyimpang dari ajaran Islam dan meniru model pejabat
pemerintah-an jaman kekaisaran Romawi. Kebijakan menindas dengan kekerasan
terhadap lawan politik, mengakibatkan terjadinya perlawanan di mana-mana,
kelompok-kelompok yang merasa tertindas mengadakan perlawanan, terutama
golongan Syiah yang selama ini terus diburu karena dianggap meneruskan
perjuangan keturunan Ali bin Abi Thalib. Terdapat kelompok lain yang menonjol
yakni keturunan Bani Abbas. Bani Abbas masih mempunyai hubungan darah dengan
Nabi Muhammad, karena didirikan oleh garis keturunan Abbas paman Nabi. Dengan
dukungan golongan Syiah, Bani Abbas mendirikan gerakan di khurasan yang
dipimpin oleh Abu Muslim Al Khurasani. Dengan memanfaatkan rasa sentimen
orang-orang Parsi tehadap Bani Umayyah, Abu Muslim Al Khurasani merebut
kekuasaan Bani Umayyah di Kuffah dan memproklamirkan berdirinya Bani Abbasiyah
dengan Khalifah I Abu’I Abbas Assafat pada tahun 750 M. Dengan proklamasi
tersebut berarti merupakan tantangan terbuka bagi khalifah Bani Umayyah yang
pada saat itu dipegang oleh Marwan bin Muhammad. Dalam sebuah pertempuran
Marwan dapat di kalahkan, dengan demikian berakhirlah kekuasaan Bani Umayyah.
2. Bani Abbasiyah
Abu’I abbas Assafat setelah berkuasa kemudian memindahkan
kekuasa-an di Bagdad Irak. Dengan ibukota Bagdad Bani Abbasiyah mengembangkan
kekuasaan hingga dapat bertahan kurang lebih lima setengah abad lamanya
(750-1268 M). Banyak ahli berpendapat bahwa zaman keemasan Islam terjadi pada
masa kekuasaan Bani Abbasiyah. Para ahli berargumen bahwa Bani Abbasiyah telah
berhasil menunjukkan kebesaran Islam, tidak hanya dari segi kekuasaan politik,
akan tetapi hampir di semua bidang kehidupan (Watt, 1988).
Bani Abbasiyah sebagaimana Bani Umayyah, menggunakan politik
kekerasan untuk menghadapi lawan-lawan politiknya. Perluasan kekuasaan politik
terus dilakukan sehingga wilayah Islam juga semakin luas. Walaupun untuk
beberapa tempat tidak di bawah kontrol langsung kekuasaan Bagdad, seperti
Andalusia di Spanyol yang masih di pegang oleh keturunan Bani Umayyah.
Masa kekuasaan Bani Abbassiyah dibagi dalam lima periode,
masing-masing periode kurang lebih berlangsung satu abad. Tidak kurang 37
Khalifah menjadi penguasa Bani Abbassiyah, akan tetapi hanya sampai Khalifah
ke-9 sebenarnya kekuasaan ada di Bagdad. Khalifah yang lain hanya sebagai
simbol kekuasaan karena kekuasaan riil banyak dikuasai panglima perang atau
gubernur di wilayah masing-masing. Artinya kekuasaan Bani Abbasiyah hanya
diakui kedaulatannya secara formal saja.
Catatan sejarah yang menonjol pada masa Bani Abbasiyah
adalah berkembangnya ilmu pengetahuan yang luar biasa. Dasar-dasar ilmu
pengetahu-an yang telah berkembang pada masa Bani Umayyah, mendapatkan ruang
untuk berkembang lebih maju lagi. Perpaduan antara khasanah ilmu Arab, Persia,
dan Yunani Kuno, serta pertemuan dengan nilai-nilai Timur (India), dengan cepat
tersebar di kalangan masyarakat Islam. Bagdad menjadi pusat ilmu pengetahu-an,
dan tidak sekedar pusat kegiatan politik dan ekonomi.
Di bidang ekonomi kota Bagdad menjadi kota transit jalur
perdagangan antara pedagang-pedagang barat dan pedagang-pedagang timur jauh. Di
Bagdad telah terdapat perwakilan-perwakilan masyarakat Cina dan India,
perwakilan ini untuk misi perdagangan masing-masing Negara. Tampaknya jalur
perdagangan inilah yang menjadi salah satu sarat penyebaran Islam ke wilayah
Asia Tenggara dan Asia Timur.
Masa keemasan Abbasiyah akhirnya tenggelam setelah
pergolakan politik dalam negeri Abbassiyah terus terjadi dari waktu ke waktu.
Kelompok-kelompok yang selama awal-awal kekuasaan Abbasiyah dipaksa untuk
tunduk, bangkit kembali dan mengadakan pemberontakan. Sementara prajurit
bayaran dari bangsa Turki yang diberi tugas mengawal khalifah telah berhasil
menjadi penguasa-penguasa baru pada pemerintahan Abbasiyah. Beberapa
pem-berontakan yang terjadi telah memaksa Abbasiyah melepaskan sebagian
kekuasaannya di Afrika Utara kepada raja-raja kecil lokal, dengan catatan bahwa
setiap tahun harus tetap mengirimkan upeti ke Bagdad. Bahkan pada pertengahan
abad ke-10 M, ketika golongan Fathimiyah muncul di Mesir dan kemudian menguasai
sebagian wilayah Afrika Utara, kekuasaan Abbassiyah di Bagdad tidak mampu
berbuat apa-apa. Ketika Fathimiyah bergerak ke arah utara menuju Syria, barulah
Bagdad mengirimkan pasukan yang terdiri atas orang-orang Turki untuk memerangi,
walaupun tidak tampak hasilnya. Fathimiyah merosot kekuasaan karena adanya
serangan dari orang Barbar dari Wilayah Afrika Barat.
Di Bagdad Bani Abbasiyah dihadapkan pada permasalahan terjadinya
perebutan pengaruh antara orang-orang Turki, Arab, dan Persia. Kondisi ini
semakin memperlemah kekuasaan Bani Abbassiyah, sehingga pada masa akhir
kekhalifan di Bagdad yang sebenarnya kedaulatan sudah sangat kecil. Bahkan
dapat dikatakan bahwa yang berkuasa di Bagdad adalah orang-orang Turki yang
dikenal sebagai Bani Saljuk.
Bani Saljuk berkuasa kurang dua abad lamanya dari 1055 M
-1258 M. Tersingkirnya orang-orang Arab dan Parsi dari kekuasaan Bani
Abbassiyah telah menjadikan corak kehidupan masyarakat tidak lagi menjadi
identik dengan Islam murni sebagaimana dicontohkan Nabi di Madinah. Ketika pada
tahun 1258 tentara Monggol di bawah pimpinan Hulagu menyerbu Bagdad, sehingga
menyebabkan kekhalifahan Bani Abbasiyah berakhir.
a. Peta Jalur Masuk
dan Berkembangnya Islam di Indonesia
Hubungan dagang antara India dan China melalui laut sudah
mulai ramai sejak awal Masehi. Hal ini di mungkinkan karena sudah dikenalnya
sistem bintang dan sistem angin yang berlaku di Lautan Hindia dan laut Cina
sehingga memungkinkan terjadi jalur pelayaran antara Barat dengan Timur pulang
balik secara teratur dan berpola tetap (Kartodirdjo, 1987). Hal ini juga
menjadi salah satu faktor munculnya kota-kota pelabuhan di sepanjang jalur
pelayaran. Sriwijaya menjadi tempat persinggahan kapal-kapal dagang dari
jazirah Arab dan Teluk Parsi serta kapal-kapal dagang dari Cina. Kapal dagang
yang dari Jazirah Arab atau Teluk Parsi serta kapal-kapal dagang dari Cina.
Kapal dagang yang dari Jazirah Arab atau Teluk Parsi bergerak di sepanjang
pantai Asia Selatan (Gujarat, Malabar, Koromandel, Benggala) dan memasuki
kepulauan Nusantara terus Cina, demikian juga sebaliknya
Pada awal Abad ke-7 M, ketika Islam berkembang di Jazirah
Arab Sriwijaya sedang dalam puncak kejayaannya. Dengan berdasar pada pendapat
HAMKA bahwa sudah ada pedagang Arab yang singgah di Sriwijaya, maka bukan tidak
mungkin bahwa di antara para pedagang Arab sudah ada yang beragama Islam. Ini
artinya bahwa Islam sudah hadir dan mulai di kenal di wilayah Nusantara pada
abad ke-7 M. Hal ini diperkuat dengan pendapat Syed Naquid Al-Atas menyatakan
bahwa orang-orang Muslim sejak abad ke-7 M telah memiliki perkampungan di
Kanton (Kartodirdjo, Poesponegoro, Notosusanto, 1975). Dengan demikian dapat
dipastikan bahwa pedagang-pedagang Arab memang telah memasuki perairan
Nusantara.
Sebagian ahli sejarah yang lain berpendaoat bahwa Islam
datang ke Indonesia pada abad ke-13, hal ini dikaitkan dengan hancurnya Bagdad
yangdiserbu oleh Hulagu pada tahun 1258 M. Akibat hancurnya Bagdad maka banyak
orang Islam yang menyebar ke luar dan berkelana mencari daerah baru, kelompok
inilah yang sampai di Indonesia. Alasan lain yang dikemukakan adalah keterangan
yang diperoleh dari catatan perjalanan Marcopolo dan Ibnu Batutah. pada catatan
keduanya menyebut adanya masyarakat Islam di Sumatera. Alasan yang lebih kuat
adalah diketemukannya bukti fisik yang berupa Nisan Sultan Malikus Saleh di
Aceh yang berangka tahun 1297 M.
Kesimpulan yang dapat diambil dari permasalahan kapan
datangnya Islam di Indonesia adalah perlunya pemisahan konsep secara jelas
tentang kedatangan, proses penyebaran, dan perkembangan Islam di Indonesia.
Dengan demikian jelas bahwa abad ke-7 M dapatlah disimpulkan sebagai waktu
kedatangan Islam di Indonesia untuk pertama kali. Setidaknya mengacu pada jalur
pelayaran dan perdagangan antara Cina dan India atau Timur Tengah sebagaimana
yang telah diuraikan sebelumnya. Pada masa Sriwijaya berkuasa belum dapat
dipastikan apakah pedagang-pedagang Arab telah memainkan peran ganda, yakni
sebagai pedagang dan sebagai dai yang mendakwahkan ajaran Islam. Jarak yang
cukup jauh (kurang lebih 5 Abad) antara proses kedatangan hingga terbentuknya
masyarakat (kerajaan Islam) di Parlak, memang masih menjadi catatan para
sejarawan.
Di manakah Islam pertama kali datang di kepulauan Indonesia?
Tentu saja jawaban pasti mengarah pada tempat-tempat (pelabuhan-pelabuhan) yang
menjadi persinggahan kapal-kapal dagang. Aceh (1985) menjelaskan bahwa daerah
Perlak merupakan tempat Islam pertama kali berkembang. Hal ini didasarkan atas
catatan perjalanan Marcopolo. Dari bukti pelacakan arkeologis di samping Parlak
juga disebutkan adanya tempat yang bernama Pase. Sehingga disimpulkan bahwa
tempat kedatangan Islam pertama kali adalah Parlak dan Pase.
Menurut Harun (1995) ada dua jalur proses masuknya Islam ke
Indonesia yakni jalur darat dan jalur laut. Jalur darat dari Bagda menuju Kabul
Afghanistan, terus ke Kasmir, India Utara, ke Kanton, ke Jeddah Laut Merah, ke
Yaman, Oman Teluk Parsi (Irak), Iran, Pakistan, Pantai Malabar, Ceilon, pantai
Koromandel, Bangladesh, Birma, dan masuk ke Indonesia.Jika yang digunakan
sebagai dasar adalah dua jalur proses masuknya Islam tersebut maka, Parlak
sebagai wilayah pertama kedatangan Islam dapat diterima.
Permasalahan kedua siapa yang membawa Islam datang di
Indonesia. Permasalahan ini juga tidak kalah sulitnya dengan permasalahan
tentang kapan datang di Indonesia. Para ahli sejarah tampak juga sulit untuk
bersepakat. Satu hal yang sepatutnya diterima adalah bahwa para pedagang
(saudagar) mesti punya andil atau terlibat dalam penyebaran Islam ke Indonesia.
Pertanyaan sederhana yang muncul, pedagang Islam yang datang ke Indonesia itu
berasal dari mana. Snuck Hurgronye (Ahli Islam dari Belanda) sepakat bahwa
pedagang Islam yang datang ke Indonesia berasal dari Gujarat India.
Ada enam bukti yang dikemukakan:
- Pedagang-pedagang Indialah yang jauh sebelum Islam datang telah terbiasa menggunakan jalur laut Indonesia untuk menuju Cina, sehingga ketika Islam masuk India dan pedagang India menjadi Muslim maka Islam kemudian dibawa ke Indonesia;
- Gujarat adalah pelabuhan yang penting bagi kapal-kapal dagang atau jalur pelayaran dan perdagangan yang ramai di singgahi oleh para pedagang;
- Corak hiasan dan bentuk nisan makam orang Islam di Indonesia sejenis dengan yang ada di Guratan, sehingga di mungkinkan didatangkan dari Gujarat;
- Gelar yang dipakai oleh para raja Islam di Indonesia (sjah) adalah dari bahas India atau Parsi;
- Terdapat kesesuaian beberapa adat-istiadat antara Indonesia dan India; dan
- Terdapatnya paham syiah dan wahdatul wujud pada pengikut Islam di Indonesia (Lihat Aceh, 1985:21; Harun, 1995:4).
HAMKA (1984) dan Aceh (1985) berpendapat bahwa tidak hanya
pedagang dari Gujarat tetapi juga pedagang dari Arab yang berperanan
mengislamkan Indonesia. Alasannya antara lain: 1. Hubungan dagang melalui laut
antara daerah Timur Tengah dengan Cina sudah berkembang sejak abad ke-7 M; 2.
Sudah terdapatnya pemukiman orang-orang Arab di Malabar India yang berasal dari
Omat dan Hendramaut; dan 3. Sejak zaman Sriwijaya sudah terdapat pedagang Islam
yang berasal dari Arab yang bermukim di Sumatera Selatan.
Mengkaji tentang asal para pedagang Islam, memeng pernah ada
pendapat yang menyebutkan bahwa para pedagang Cina mungkin terkait dalam
penyebaran Islam. Bahkan bangsa Cina tidak hanya para pedagangnya yang terkait
dengan penyebaran Islam tetapi juga kelompok militer yang peninggalannya sampai
sekarang masih dapat di jumpai di Semarang Jawa Tengah (Yuanshi, 2005).
Kartodirdjo (1975) menyebutkan bahwa tidak hanya dari
kelompok pedagang yang menyebarkan Islam, tetapi juga dari kelompok Mubaligh.
Mubaligh inilah yang dengan ilmunya membentuk kader-kader dai melalui berbagi
cara, salah satu yang menonjol adalah melalui pendidikan dengan mendirikan
pesantren. Kelompok lain adalah para Sufi yang menyebarkan tarekat di
Indonesia. Satu hal yang perlu di catat bahwa bangsa Indonesia sendiri
merupakan penyebar agama Islam, Karena sebenarnya dalam proses perkembangan
Islam bangsa Indonesia tidak pasif, tetapi juga aktif. Contoh yang dikemukakan
antara lain, Pengislaman Kerajaan Banjar yang dilakukan oleh penghulu dari
kerajaan Demak. Demikian juga dengan pengislaman Hitu dan Ternate yang
dilakukan oleh santri dari Giri.
Saluran islamisasi yang pertama adalah melalui perdagangan.
Hal ini berlangsung dengan intens antara abad ke-7-16 M, yang melibatkan para
pedagang dari berbagai wilayah di Asia. Penggunaan saluran Islamisasi melalui perdagangan
sangat cocok dengan ajaran Islam, karena dalam ajaran Islam tidak ada pemisahan
antara kegiatan berdagang dengan kewajiban-kewajiban agama lainnya. Melalui
saluran perdagangan Islam dapat masuk ke semua lapisan masyarakat dari raja
hingga rakyat biasa. Raja atau kaum bangsawan pada masa tersebut juga merupakan
pemilik modal dalam bidang perdagangan, sehingga banyak yang memiliki
kapal-kapal dagang.
Prosesnya mula-mula para pedagang Islam berdagangan di
pusat-pusat perdagangan dan kemudian di antaranya ada yang bertempat tinggal,
baik hanya untuk sementara maupun untuk waktu yang cukup lama. Dalam
perkembangannya para pedagang ini banyak kemudian yang menetap sehingga lama
kelamaan menjadi sebuah perkampungan. Perkampungan ini kemudian dikenal sebagai
Pekojan, perkampungan orang Islam. Status mereka secara ekonomi relatif baik,
sehingga banyak menarik masyarakat di sekitarnya untuk bekerja dengan para
pendatang tersebut.
Saluran Islamisasi kedua adalah melalui perkawinan. Banyak
pedagang Muslim yang menetap tidak serta membawa keluarganya, sehingga kemudian
mereka menikah dengan penduduk asli. Wanita yang akan di nikah sebelumnya telah
masuk agama Islam, dengan demikian terbentuklah keluarga muslim. Jumlahnya
lambat laun semakin banyak sehingga terciptalah masyarakat Islam.
Tasawuf juga merupakan saluran Islamisasi yang ketiga,
bahkan di nilai para ahli merupakan saluran terpenting. Alasanya karena melalui
Tasawuf memudahkan penerimaan Islam oleh masyarakat yang belum memeluk agama
Islam. Guru-guru Tasawuf dengan kebajikannya tetap memelihara unsur-unsur lama
dalam masyarakat dengan diwarnai oleh ajaran islam. Nilai-nilai Islam yang
diperkenalkan kepada masyarakat Indonesia menunjukkan persamaan dengan alam
pikiran yang telah di miliki oleh orang Indonesia. Hal ini dapat di buktikan
pada islamisasi di Jawa dan
Sumatera khususnya. Para guru Tasawuf mampu mengemas islam
dalam bahasa yang dapat dimengerti dan disarankan oleh masyarakat Indonesia,
sehingga relatif tidak menimbulkan pertentangan antara Islam dengan yang sudah
ada sebelumnya.
Pendidikan juga merupakan saluran Islamisasi di Indonesia.
Sudah disinggung sebelumnya bahwa banyak mubaligh yang kemudian menyiapkan
kader melalui pendidikan denga mendirikan pesantren. Di pesantren itulah kader
ulama penerus ulama disiapkan untuk mengembangkan Islam diseluruh pelosok
Indonesia. Beberapa pesantren awal yang dikenal luas adalah Ampel dan Giri yang
sudah muncul ketika Majapahit masih berdiri. Ampel dan Giri di kenal sebagai
tempat pendidikan para mubaligh yang banyak mengislamkan wilayah Indonesia.
Saluran Islamisasi yang lain adalah melalui kesenian.
Kesenian dengan berbagai bentuknya telah dimanfaatkan para mubaligh untuk memperkenalkan
ajaran Islam. Bahkan penyebaran Islam di Jawa tidak dapat dilepaskan dari
tembang-tembang Jawa yang digubah oleh para wali. Demikian juga dengan gamelan
dan wayang sebagai puncak kesenian Jawa, telah dimanfaatkan Sunan Kalijaga
untuk berdakwah.
b. Faktor-Faktor yang
Memudahkan Islam Berkembang di Indonesia
Kartodirdjo (1975: 109) menyatakan bahwa proses islamisasi
di Indonesia berjalan mudah karena kedua belah pihak yakni orang-orang Muslim
yang datang dan golongan masyarakat Indonesia dapat saling menerima. Secara
lebih rinci dapat dijelaskan bahwa faktor politik, ekonomi, sosial, dan budaya
secara simultan telah memudahkan Islam berkembang dan diterima di Indonesia.
Dipandang dari faktor politik berkembangnya Islam bersamaan
dengan terjadinya pergolakan politik kerajaan Hindu Budha. Contoh kasus tentang
faktor politik adalah islamisasi di Jawa Timur. Bersamaan dengan kegoncangan
politik di Majapahit menjelang keruntuhannya, Islam muncul menjadi kekuatan
alternatif yang sulit ditolak masyarakat.
Dilihat dari faktor ekonomi antara lain munculnya kekuatan
para pedagang Islam pada pelabuhan-pelabuhan strategis di kepulauan Nusantara
menjadi daya tarik luar biasa bagi masyarakat Indonesia. Pedagang-pedagang
Muslim dapat menunjukkan sifat dan tingkah laku yang baik, dan pemahaman
keagamaan yang tinggi sehingga patut untuk dicontoh dan diikuti. Ketika
kemudian banyak pedagang dan bangsawan di daerah pelabuhan memeluk Islam maka
masyarakat di sekitarnya kemudian mengikuti memeluk Islam.
Dari segi faktor sosial dapat dijelaskan antara lain adalah
penggunaan bahasa melayu oleh para Mubaligh, sehingga Islam dengan mudah dapat
di pahami oleh penduduk Nusantara karena kedudukan bahasa Melayu sebagai bahasa
penghubung (lingua franca). Aspek sosial lainnya adalah adanya pandangan Islam
yang tidak mengenal strata, padahal sebelum kedatangan Islam masyarakat
dipisahkan dalam kasta Islam dianggap sebagai nilai pembebasan dan menjunjung
persamaan dalam masyarakat
Faktor budaya yang ikut mendukung berkembang Islam di
Indonesia yakni sebelum kedatangan Islam masyarakat Indonesia mempunyai sikap
relijius yang baik, sehingga kedatangan Islam yang menawarkan sebuah keyakinan
bukan hal yang asing. Sikap masyarakat Indonesia yang terbuka menerima budaya
asing telah memungkinkan terjadinya interaksi dengan budaya Islam, kemampuan
para mubaligh menggunakan sarana budaya untuk memperkenalkan Islam menjadi
saluran Islamisasi yang efektif. Syarat yang mudah untuk menjadi muslim (hanya
dengan membaca syahadat) dan ritual yang sederhana merupakan daya tarik yang
cepat dapat diterima masyarakat Indonesia.
c. Bukti-Bukti
Masuknya Pengaruh Islam di Indonesia
Perkembangan Islam di Indonesia mulai abad ke-13 menunjukkan
intensitas yang tinggi, munculnya Samudra Pasai sebagai kerajaan Islam di
Indonesia telah menunjukkan bukti pengaruh Islam pada sistem kemasyarakatan
secara konkrit, yang dalam konteks ini adalah sistem politik dan pemerintahan.
Dipergunakan gelar Sultan untuk raja merupakan bukti adanya pengaruh Islam
dalam sistem pemerintahan. Demikian juga dengan diperkenalkannya jabatan
penghulu dalam struktur pemerintahan di Kraton Demak menunjukkan bahwa Islam
telah mempengaruhi pola dan tatanan pemerintahan kerajaan-kerajaan di Indonesia
(Sjamsulhuda, 1987).
Di Sumatera Barat Islam memperkaya norma-norma adat, pepatah
yang mengatakan bahwa adat bersendi sara, dan sara bersendikan kitabullah
merupakan pengakuan masyarakat Sumatera Barat tentang perlunya norma-norma adat
yang tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai yang ditetapkan Islam (Hamka,
1981). Di Jawa diadakan upacara grebeg Maulud yang memadukan antara upacara
adat dengan dakwah Islam. Demikian pula di berbagai tempat di Indonesia, banyak
upacara adat memiliki latar belakang terkait dengan paham-paham tertentu dalam
Islam. Misalnya kenduri bubur sura, Asan-usen tabut, Kanji Asura, dsb.
Di bidang keagamaan sebagaimana telah dibahas dalam uraian
di atas bahwa tasawuf memiliki pengaruh yang cukup penting. Banyak ritual
keagamaan masyarakat yang didasarkan atas ajaran tarekat, tokoh-tokoh tarekat
seperti Hamsah Fansuri, Abdur Rauf Singkel, Nuruddin Ar Raniri menjadi rujukan
masyarakat dalam menjalankan ritual keagamaan. Mereka adalah pengembang tarekat
yang mendapat banyak pengikut di Sumatera. Di Jawa pada Wali menggunakan berbagai
saluran kesenian untuk mengembangkan Islam, yang sangat popular adalah Sunan
Kalijaga yang mampu mempengaruhi pertunjukkan wayang menjadi sarana dakwah yang
efektif.
Bukti fisik tentang masuknya pengaruh Islam adalah pada
bidang seni bangunan (arsitektur) dan seni sastra. Seni bangunan yang merupakan
bukti adanya pengaruh Islam adalah Masjid, bangunan tempat shalat bagi umat
Islam. Dalam bangunan Masjid jelas sekali adanya pengaruh Islam di dalamnya
(Soekmono, 1985). Selain bangunan masjid, bentuk bangunan yang terpengaruh
Islam adalah makam. Ragam hias dan bentuk nisan memberikan bukti adanya
pengaruh Islam. Nisan Fatimah binti Maimun di Leran Gresik, makam Al Malikus
Saleh, dan Troloyo menunjukkan bukti bahwa Islam berpengaruh dalam seni
bangunan. Hasil seni ukir sebagaimana yang terdapat dalam relief di Masjid
Mantingan, seni ukir kayu di Cirebon. Bukti pengaruh Islam pada seni sastra
sangatlah banyak. Di Sumatera muncul karya sastra yang berbentuk hikayat,
syair, tambo, dan silsilah. di Jawa muncul karya berbentuk Suluk, babad,
tembang, dan kitab (Soekmono, 1985).
Dalam perilaku keagamaan ajaran tasawuf dapat diterima di
Indonesia karena dapat menemukan titik temu dengan kepercayaan masyarakat
terdahulu, sehingga dalam perkembangan Islam di masyarakat bentuk-bentuk ritual
tasawuf sangat mewarnai perilaku keagamaan masyarakat. Beberapa tarekat
berkembang di Indonesia dengan baik, antara lain tarekat Qodiriyah,
Naqsabandiyah, Satariyah, Rifaiyah, Qodiriyah wa Naqsabandiyah, Syadziliyah,
Khalwatiyah, dan Tijaniyah (Kartodirjo, Poesponegoro, Notosusanto, 1975).
Beberapa tarekat bahkan sampai sekarang masih berkembang di tengah-tengah
masyarakat.[gs]