Indonesia di Bawah Kekuasaan VOC - VOC yang didirikan pada
tahun 1602, oleh pemerintah negeri Belanda diberikan octrooi (hak istimewa),
yakni sebagai berikut.
- Hak monopoli perdagangan.
- Hak untuk memiliki tentara.
- Hak untuk melakukan ekspansi ke Asia, Afrika, dan Australia.
- Hak untuk melakukan peperangan, membuat perdamaian, dan mengadakan perjanjian dengan raja-raja yang dikuasainya.
- Hak untuk mencetak uang.
Dengan hak-hak istimewa tersebut, VOC bukan saja sebagai
kongsi dagang tetapi juga merupakan pemerintahan semi resmi. Pada tahun 1605,
VOC di bawah pimpinan Steven van der Haagen berhasil merebut benteng Portugis
di Ambon. Untuk memperkuat kedudukannya, VOC mengangkat seorang pimpinan yang
berpangkat Gubernur Jenderal. Untuk membantu Gubernur Jenderal, di
daerah-daerah penting diangkat seorang Gubernur. Gubernur Jenderal yang pertama
ialah Pieter Both dan berkedudukan di Ambon; karena Ambon merupakan pangkalan
dagang VOC yang paling kuat dan strategis.
Dalam perkembangannya, Ambon dinilai tidak strategis lagi.
Perhatian VOC ditujukan ke Jayakarta, kota pelabuhan Kerajaan Banten. Di bawah
pimpinan Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen (J.P. Coen) tahun 1619, VOC
berhasil merebut Jayakarta sebagai markas besar VOC.
J.P. Coen kemudian mengganti nama Jayakarta menjadi Batavia,
sesuai dengan nama salah satu suku di negeri Belanda yakni suku Batavia.
Selanjutnya Batavia dijadikan markas besar VOC, sebagai tempat imperialisme
Belanda di Indonesia.
Dengan berdirinya kota Batavia sebagai markas besar VOC,
maka kedu- Eksplorasi mengadakan perluasan wilayah kekuasa- yang bertujuan
untuk mengawasi dan annya. Untuk mendapatkan keuntungan mencegah pelanggaran
peraturan sebasar-besarnya melalui perdagangan, monopoli VOC dan untuk mencegah
VOC melaksanakan sistem monopoli. timbulnya perdagangan gelap. Pelaksanaan
sistem monopoli VOC lebih keras dari pada bangsa Portugis, terutama di Maluku.
Untuk mencegah terjadinya pelanggaran terhadap peraturan monopolinya, VOC
melakukan pelayaran hongi.
Perlawanan Rakyat dan
Bangsa Indonesia Melawan VOC
a. Perlawanan Rakyat
Maluku Melawan VOC
Pada tahun 1605 Belanda mulai memasuki wilayah Maluku dan
berhasil merebut benteng Portugis di Ambon. Praktik monopoli dengan sistem
pelayaran hongi menimbulkan kesengsaran rakyat. Pada tahun 1635 muncul
perlawanan rakyat Maluku terhadap VOC di bawah pimpinan Kakiali, Kapten Hitu.
Perlawanan segera meluas ke berbagai daerah. Oleh karena kedudukan VOC
terancam, maka Gubernur Jederal Van Diemen dari Batavia dua kali datang ke Maluku (1637 dan 1638) untuk
menegakkan kekuasaan Kompeni. Untuk mematahkan perlawanan rakyat Maluku,
Kompeni menjanjikan akan memberikan hadiah besar kepada siapa saja yang dapat
membunuh Kakiali. Akhirnya seorang pengkhianat berhasil membunuh Kakiali.
Dengan gugurnya Kakiali, untuk sementara Belanda berhasil
mematahkan perlawanan rakyat Maluku, sebab setelah itu muncul lagi perlawanan
sengit dari orang-orang Hitu di bawah pimpinan Telukabesi. Perlawanan ini baru
dapat dipadamkan pada tahun 1646. Pada tahun 1650 muncul perlawanan di Ambon
yang dipimpin oleh Saidi. Perlawanan meluas ke daerah lain, seperti Seram,
Maluku, dan Saparua. Pihak Belanda agak terdesak, kemudian minta bantuan ke
Batavia. Pada bulan Juli 1655 bala bantuan datang di bawah pimpinan Vlaming van
Oasthoom dan terjadilah pertempuran sengit di Howamohel. Pasukan rakyat
terdesak, Saidi tertangkap dan dihukum mati, maka patahlah perlawanan rakyat
Maluku.
Sampai akhir abad ke-17 tidak ada lagi perlawanan menentang
VOC. Pada akhir abad ke-18, muncul lagi perlawanan rakyat Maluku di bawah
pimpinan Sultan Jamaluddin, namun segera dapat ditangkap dan diasingkan ke
Sailan (Sri Langka). Menjelang akhir abad ke-18 (1797) muncullah perlawanan
besar rakyat Maluku di bawah pimpinan Sultan Nuku dari Tidore. Sultan Nuku
berhasil merebut kembali Tidore dari tangan VOC. Akan tetapi setelah Sultan
Nuku meninggal (1805), VOC dapat menguasai kembali wilayah Tidore.
b. Mataram Menghadapi
VOC
Sultan Agung (1613-1645) adalah raja terbesar Mataram yang
bercita-cita: (1) mempersatukan seluruh Jawa di bawah Mataram, dan (2) mengusir
Kompeni (VOC) dari Pulau Jawa. Untuk merealisir cita-citanya, ia bermaksud
membendung usaha-usaha Kompeni menjalankan penetrasi politik dan monopoli
perdagangan.
Pada tanggal 18 Agustus 1618, kantor dagang VOC di Jepara
diserbu oleh Mataram. Serbuan ini merupakan reaksi pertama yang dilakukan oleh
Mataram terhadap VOC. Pihak VOC kemudian melakukan balasan dengan menghantam
pertahanan Mataram yang ada di Jepara. Sejak itu, sering terjadi perlawanan
antara keduanya, bahkan Sultan Agung berketetapan untuk mengusir Kompeni dari
Batavia.
Serangan besar-besaran terhadap Batavia, dilancarkan dua
kali. Serangan pertama, pada bulan Agustus 1628 dan dilakukan dalam dua
gelombang. Gelombang I di bawah pimpinan Baurekso dan Dipati Ukur, sedangkan
gelombang II di bawah pimpinan Suro Agul-Agul, Manduroredjo, dan Uposonto.
Batavia dikepung dari darat dan laut selama tiga bulan, tetapi tidak menyerah.
Bahkan sebaliknya, tentara Mataram akhirnya terpukul mundur.
Serangan kedua dilancarkan pada bulan September 1629 di
bawah pimpinan Dipati Purbaya dan Tumenggung Singaranu. Akan tetapi serangan
yang kedua ini pun juga mengalami kegagalan. Kegagalan serangan-serangan
tersebut disebabkan:
1) Kalah persenjataan.2) Kekurangan persediaan makanan, karena lumbung-lumbung persediaan makanan yang dipersiapkan di Tegal, Cirebon, dan Kerawang telah dimusnahkan oleh Kompeni.3) Jarak Mataram - Batavia terlalu jauh.4) Datanglah musim penghujan, sehingga taktik Sultan Agung untuk membendung sungai Ciliwung gagal.5) Terjangkitnya wabah penyakit yang menyerang prajurit Mataram.
c. Perlawanan
Trunojoyo (1674-1680)
Trunojoyo, seorang keturunan bangsawan dari Madura tidak
senang terhadap Amangkurat I, karena pemerintahannya yang sewenang-wenang dan
menjalin hubungan dengan Kompeni. Perlawanan Trunojoyo di mulai pada tahun
1674, dengan menyerang Gresik. Dengan berpusat di Demung (dekat Panarukan),
Trunojoyo melakukan penyerangan dan dalam waktu singkat telah berhasil
menguasai beberapa daerah di Jawa Timur dan Jawa Tengah bahkan sampai pusat
Mataram di Plered (Yogyakarta). Dalam perlawanan ini, Trunojoyo dibantu oleh
Raden Kajoran, Macan Wulung, Karaeng Bontomarannu, dan Karaeng Galesung.
Pada tanggal 2 Juli 1677, pasukan Trunojoyo telah berhasil
menduduki Plered, ibukota Mataram. Amangkurat I yang sering sakit bersama putra
mahkota, Adipati Anom melarikan diri untuk minta bantuan kepada Kompeni di
Batavia. Dalam perjalanan, Amangkurat I meninggal di Tegal Arum (selatan
Tegal), sehingga dikenal dengan sebutan Sultan Tegal Arum. Adipati Anom
kemudian menaiki takhta dengan gelar Amangkurat II. Untuk menghadapi Trunojoyo,
Amangkurat II minta bantuan Kompeni, akan tetapi tidak ke Batavia namun ke
Jepara. Pimpinan Kompeni (VOC) Speelman menerima dengan baik Amangkurat II dan
bersedia membantu dengan suatu perjanjian (1678) yang isinya:
1) VOC mengakui Amangkurat II sebagai raja Mataram.2) VOC mendapatkan monopoli dagang di Mataram.3) Seluruh biaya perang harus diganti oleh Amangkurat II4) Sebelum hutangnya lunas, pantai utara Jawa digadaikan kepada VOC.5) Mataram harus menyerahkan daerah Kerawang, Priangan, Semarang dan sekitarnya kepada VOC.
Setelah perjanjian ini ditandatangani penyerangan di mulai.
Pada waktu itu Trunojoyo telah berhasil mendirikan istana di Kediri dengan
gelar Prabu Maduretno. Tentara VOC di bawah pimpinan Anthonie Hurdt, yang
dibantu oleh tentara Aru Palaka dari Makasar, Kapten Jonker dari Ambon beserta
tentara Mataram menyerang Kediri. Dengan mati-matian tentara Trunojoyo
menghadapi pasukan gabungan Mataram-VOC, tetapi akhirnya terpukul mundur.
Pasukan Trunojoyo terus terdesak, masuk pegunungan dan menjalankan perang
gerilya. Demi keselamatan sebagian pengikutnya, pada tanggal 25 Desember 1679
menyerah dan akhirnya gugur ditikam keris oleh Amangkurat II pada tanggal 2
Januari 1680. Dengan gugurnya Trunojoyo, terbukalah jalan bagi VOC untuk
meluaskan wilayah dan kekuasaannya di Mataram.
d. Perlawanan Untung
Suropati (1868-1706)
Untung, menurut cerita adalah seorang putra bangsawan dari
Bali, yang dibawa pegawai VOC ke Batavia. Semula Untung dijadikan tentara VOC
di Batavia. Dalam peristiwa Cikalong (1684), merasa harga dirinya direndahkan,
maka Untung berbalik melawan VOC.
Dengan peristiwa Cikalong tersebut, Untung tidak kembali ke
Batavia, namun melanjutkan perlawanan menuju Cirebon. Di Cirebon terjadi
perkelahian dengan Suropati dan Untung menang sehingga namanya digabungkan
menjadi Untung Suropati. Dari Cirebon Untung terus melanjutkan perjalanan
menuju Kartasura, dan disambut baik oleh Amangkurat II yang telah merasakan
beratnya perjanjian yang dibuat dengan VOC. Pada tahun 1686, datanglah utusan
VOC di Kartasura di bawah pimpinan Kapten Tack dengan maksud: (1) merundingkan
soal hutang Amangkurat II, dan (2) menangkap Untung. Amangkurat II menghindari
pertemuan ini dan terjadilah pertempuran.
Kapten Tack bersama anak buahnya berhasil dihancurkan oleh
Untung, dan Untung kemudian melanjutkan perjalanan ke Jawa Timur hingga sampai
di Pasuruan. Di Pasuruan inilah Untung Suropati berhasil mendirikan istana dan
mengangkat dirinya menjadi adipati dengan gelar Adipati Ario Wironegoro, dengan
wilayah seluruh Jawa Timur, antara lain Blambangan, Pasuruhan, Probolinggo,
Malang, Kediri dan Bangil. Di Bangil, dibangun perbentengan guna menghadapi
VOC.
Pada tahun 1703, Amangkurat II wafat, putra mahkota Sunan
Mas naik takhta. Raja baru ini benci terhadap Belanda dan condong terhadap
perlawanan Untung. Pangeran Puger (adik Amangkurat II) yang ingin menjadi raja, pergi ke Semarang dan
minta bantuan kepada VOC agar diakui sebagai raja Mataram. Pada tahun 1704,
Pangeran Puger dinobatkan menjadi raja
dengan gelar Paku Buwono I. Pada tahun 1705 Paku Buwono I dan VOC menyerang
Mataram. Sunan Mas melarikan diri dan bergabung dengan pasukan Untung di Jawa
Timur.
Oleh pihak Kompeni di Batavia, dipersiapkan pasukan secara
besar-besaran untuk menyerang Pasuruan. Di bawah pimpinan Herman de Wilde,
pasukan Kompeni berhasil mendesak perlawanan Untung. Dalam perlawanan di
Bangil, Untung Suropati terluka dan
akhirnya pada tanggal 2 Oktober 1706 gugur. Jejak perjuangannya diteruskan oleh
putra-putra Untung, namun akhirnya berhasil dipatahkan oleh Kompeni. Bahkan
Sunan Mas sendiri akhirnya menyerah, kemudian dibawa ke Batavia, dan diasingkan
ke Sailan (1708).
e. Makasar Menghadapi
VOC
Pada abad ke-17 di
Sulawesi Selatan telah muncul beberapa
kerajaan kecil seperti Gowa, Tello, Sopeng, dan Bone. Di antara kerajaan
tersebut yang muncul menjadi kerajaan yang paling kuat ialah Gowa, yang lebih
dikenal dengan nama Makasar. Adapun faktor-faktor yang mendorong perkembangan
Makasar, antara lain :
1) Letak Makasar yang sangat strategis dalam lalu lintas perdagangan MalakaBatavia-Maluku.2) Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis tahun 1511.3) Timbulnya Banjarmasin sebagai daerah penghasil lada, yang hasilnya dikirim ke Makasar.
Usaha penetrasi kekuasaan terhadap Makasar oleh VOC dalam
rangka melaksanakan monopolinya menyebabkan hubungan Makasar - VOC yang semula
baik menjadi retak bahkan akhirnya menjadi perlawanan. Hal ini dikarenakan
Makasar selalu menerobos monopoli VOC dan selalu membantu rakyat Maluku melawan
Kompeni. Pertempuran besar meletus pada tahun 1666, ketika Makasar di bawah
pemerintahan Sultan Hasanuddin (1654-1670). Dalam hal ini VOC berkoalisi dengan
Kapten Jonker dari Ambon, Aru Palaka dari Bone, dan di pihak VOC sendiri
dipimpin oleh Speelman. Makasar dikepung dari darat dan laut, yang akhirnya
pertahanan Makasar berhasil dipatahkan oleh VOC. Para pemimpin yang tidak mau
menyerah, seperti Karaeng Galesung dan Karaeng Bontomarannu melarikan diri ke
Jawa (membantu perlawanan Trunojoyo). Sultan Hasanuddin dipaksa menandatangani
Perjanjian Bongaya pada tanggal 18 November 1667, yang isinya :
1) Wilayah Makasar terbatas pada Goa, wilayah Bone dikembalikan kepada Aru Palaka.2) Kapal Makasar dilarang berlayar tanpa izin VOC.3) Makasar tertutup untuk semua bangsa, kecuali VOC dengan hak monopolinya.4) Semua benteng harus dihancurkan, kecuali satu benteng Ujung Pandang yang kemudian diganti dengan nama Benteng Roterrdam.5) Makasar harus mengganti kerugian perang sebesar 250.000 ringgit.
Sultan Hasanuddin walaupun telah menandatangani perjanjian
tersebut, karena dirasa sangat berat dan sangat menindas; maka perlawanan
muncul kembali (1667-1669). Makasar berhasil dihancurkan dan dinyatakan menjadi
milik VOC.
f. Perlawanan Banten
Melawan VOC
Pada waktu orang-orang Belanda datang pertama kali di Banten
(1596), Banten berada di bawah pemerintahan Maulana Muhammad. Pada saat itu
Banten telah berkembang menjadi kota bandar yang ramai. Wilayah Banten
meliputi seluruh Banten, Priangan, dan
Cirebon. Maksud kedatangan Belanda yang semula berdagang, maka disambut dengan
baik. Akan tetapi setelah Kompeni malakukan monopoli dan penetrasi politik,
hubungan Banten - VOC menjadi buruk, bahkan sering terjadi pertentangan;
lebih-lebih setelah VOC berhasil menduduki kota Jayakarta pada tahun 1619.
Pertentangan Banten - VOC menjadi perlawanan besar, setelah
Banten di bawah pemerintahan Sultan Ageng Tirtoyoso ( 1651 - 1682). Dalam hal
ini VOC melakukan politik "devide et impera". Pada tahun 1671 Sultan
Ageng Tirtoyoso mengangkat putra mahkota (dikenal dengan sebutan Sultan Haji
karena pernah naik haji) sebagai pembantu yang mengurusi urusan dalam negeri,
sedangkan urusan luar negeri dipercayakan kepada Pangeran Purboyo ( adik Sultan
Haji). Atas hasutan VOC, Sultan Haji mencurigai ayahnya dan menyatakan bahwa
ayahnya ingin mengangkat Pangeran Purboyo sebagai raja Banten. Pada tahun 1680,
Sultan Haji berusaha merebut kekuasaan, sehingga terjadilah perang terbuka
antara Sultan Haji yang dibantu VOC melawan Sultan Ageng Tirtoyoso (ayahnya)
yang dibantu Pangeran Purboyo. Sultan Ageng Tirtoyoso dan Pangeran Purboyo
terdesak ke luar kota, dan akhirnya Sultan Ageng Tirtoyoso berhasil di tawan
oleh VOC; sedangkan Pangeran Purboyo mengundurkan diri ke daerah Priangan. Pada
tahun 1682 Sultan Haji dipaksa oleh VOC untuk menandatangani suatu perjanjian
yang isinya :
1) VOC mendapat hak monopoli dagang di Banten dan daerah pengaruhnya.2) Banten dilarang berdagang di Maluku.3) Banten melepaskan haknya atas Cirebon.4) Sungai Cisadane menjadi batas wilayah Banten dengan VOC.
Sejak adanya perjanjian ini, maka penguasa Banten sebenarnya
ialah VOC.[gs]