Perundingan Hooge Veluwe adalah lanjutan
pembicaraan-pembicaraan yang didasarkan atas persetujuan yang telah disepakati
antara Sjahrir dan Van Mook. Kesepakatan itu tertuang dalam usul tandingan
pemerintahan Indonesia tanggal 27 Maret 1946. Perundingan itu diadakan di kota
Hooge Veluwe (Negeri Belanda) tanggal 14-21 April 1946.
Pemberangkatan para delegasi Indonesia tanggal 4 April 1946
dengan menggunakan pesawat terbang Maskapai Penerbangan Belanda KLM. Dari
Belanda, di samping Van Mook juga ikut serta Dr. Indenburg (Sekretaris
Kabinet), Sultan Hamid (Sultan Pontianak), dan Sario Santoso (Kolonel KNIL).
Dari pihak Republik Indonesia adalah Menteri Kehakiman Mr.
Suwandi, Menteri Dalam Negeri Dr. Sudarsono, dan Sekretaris Kabinet Mr.
A.G.Pringgodigdo. Dengan pesawat yang sama juga berangkat Sir Archibald Clark Keer beserta stafnya.
Dalam perundingan Hooge Veluwe ini pihak-pihak yang
berunding seperti berikut :
- Delegasi Belanda terdiri dari: Perdana Menteri Prof. Ir. Dr. W. Schermerhorn, Menteri Daerah-daerah Seberang Lautan Prof. Dr. J.H. Logemann, Menteri Luar Negeri Dr. J.H. Van Roijen, Letnan Gubernur Jenderal Dr. H.J. Van Mook, Prof. Baron van Asbeck, Sultan Hamid II, dan Letnan Kolonel Surio Santoso.
- Delegasi Republik Indonesia terdiri dari Menteri Kehakiman Mr. Suwandi, Menteri Dalam Negeri Dr. Sudarsono, dan Sekretaris Kabinet Mr. A.G. Pringgodigdo.
- Pihak perantara Sir Archibald Clark Keer beserta stafnya.
Perundingan Hooge Veluwe ini gagal, karena delegasi Belanda
tidak berpijak pada kesepakatan tanggal 27 Maret 1946 yang telah disetujui
bersama oleh Sjahrir-Van Mook. Kepada delegasi Indonesia ditawarkan ''protokol''
bukan ''perjanjian''.
Alasannya, Belanda tidak mengakui Republik Indonesia.
Protokol yang ditawarkan isinya juga menyimpang dari kesepakatan 17 Maret 1946.
Protokol hanya mencantumkan suatu Federasi Persemakmuran Indonesia, pengakuan
Pemerintah Belanda atas de facto Republik Indonesia atas Jawa (bukan Pulau Jawa
dan Sumatera).
Kegagalan perundingan Hooge Veluwe ini lebih banyak
disebabkan oleh pihak Belanda yang tidak dengan sungguh-sungguh menyelesaikan
sengketanya dengan Indonesia. Yang menarik bahwa Belanda mampu membuat
perpecahan di antara orang Indonesia dengan ikut sertanya dua orang Indonesia
dalam delegasi Belanda.
Hal ini menunjukan bahwa Belanda mampu memainkan politik adu
dombanya sehingga ada utusan yang berasal dari Indonesia tetapi memiliki
komitmen bergabung dengan kepentingan Belanda. Dengan kegagalan perundingan ini
maka hubungan antara Belanda dengan Indonesia menjadi sangat buruk.
Akan tetapi pada tanggal 2 Mei 1946 Van Mook kembali membawa
usul pemerintahnya yang terdiri dari tiga pokok pikiran yaitu :
- Pemerintah Belanda mengakui Republik Indonesia sebagai bagian dari persemakmuran (gemeennebest) Indonesia yang berbentuk federasi (serikat).
- Persemakmuran Indonesia Serikat di satu pihak dengan Nederland, Suriname, dan Curacao di lain pihak akan merupakan bagian-bagian dari kerajaan Belanda.
- Pemerintah Belanda akan mengakui de facto kekuasaan RI atas Jawa, Madura, dan Sumatera dikurangi dengan daerah-daerah yang diduduki oleh tentara Inggris dan Belanda.
Usul yang dilakukan oleh Belanda itu ternyata tidak diterima
oleh Republik Indonesia karena dianggap tidak ada hal yang baru di dalamnya.
Pihak Republik Indonesia justru mengajukan usul baru terhadap Belanda yang
isinya:
- Republik Indonesia berkuasa de facto atas Jawa, Medura, Sumatera, ditambah dengan daerah-daerah yang dikuasai oleh tentara Inggris dan Belanda.
- Repubilik Indonesia menolak ikatan kenegaraan (dalam hal ini gemeennebest, rijkverband, koloni, trusteenship territory atau federasi ala Vietnam) dan menghendaki penghentian pengiriman pasukan Belanda ke Indonesia, sedangkan pemerintah Indonesia tidak akan menambah pasukannya.
- Pemerintah Indonesia menolak suatu periode peralihan (over-gangs-periode) dibawah kedaulatan Belanda`[gs]